Posts

Showing posts from 2025

The After-Lunch Fight

Image
The heat wasn't just from the food... It was a fully packed canteen. Elbows brushed, trays clattered, and the murmur of tired workers filled the humid air. We lunched anyway—not because it was pleasant, but because hunger and work pressure didn’t care for atmosphere. There was no time for patience, no room for comfort. The queue snaked like a dragon, and we weren’t about to bow to it. We didn’t wait. We didn’t ask. We grabbed each other’s fists. Right between the sticky tables and spilled chili sauce, we locked eyes and threw the first punch—not out of hatred, but because this was how we spoke. The only language we knew that wasn't dulled by meetings and deadlines. You ducked. I spun. You grinned. A tray hit the floor somewhere behind us. Someone gasped. Someone else cheered. Forks froze mid-air as we moved—like a dance without rhythm but full of intent. Your knee almost kissed my ribs. My elbow flirted with your shoulder. Each strike was a question: Are you still alive in ther...

He Fell in Love with Islam, Again

Image
I've never specifically talked about him in my blog, (or maybe I have you just need to scroll if you want to make sure). But, let me tell you (probably again) this time. It's about my best friend, the internist. --- You know how some people grow up with religion around them, but it never really hits them until something big happens? That’s how it was for my friend. He was never the overly religious type. He respected Islam, sure — practiced when he could, asked big questions about God and life — but not the kind to get swept away in spiritual ecstasy. If anything, he was a realist, a thinker. Someone who believed, but hadn't yet  felt  the full weight of that belief.  What I always admired about him was his openness. He wasn’t blindly skeptical, nor was he blindly obedient. He had this honest kind of curiosity—about the universe, about God, about the Divine energy that surrounds everything. He'd ask deep, random questions about destiny, about du'a, about why pain e...

Don't Sleep When Your Wife Doesn't

Biggest mistakes men make: 1. They ignore the details 2. They sleep before their wives. Let me tell you: Don't. Female is the most complicated creature in this world. They're made of a man's rib, yet they are not below men to be ordered and controlled. They are not above men because biologically and physically not equally as strong as men, yet they have this other powers that men don't. One of those powers is presence . A woman remembers what you said two weeks ago, what you didn’t notice yesterday, and how you looked at her just this morning. She lives in the details. The little things you ignore are the very things that shape how she feels loved, safe, and seen. Don't believe her when she says "I'm okay", and "I'm used to it", and "it's not a big deal", and other too good to be true statements. No. She is not okay, and if you touch her in certain part(s) SHE WILL BREAKDOWN and probably burst into tears. She is on denial at...

Asylum

Our love is not that bold, not quiet. It does not sit politely at the dinner table or walk neatly in the daylight. It is wild, trembling, untamed. It is the place we run to when reason no longer matters. Our love is an asylum. A refuge where the walls close in but somehow keep us safe. A hidden chamber where the world cannot find us, cannot judge us. Here, we shed sense and slip into madness, wrapping ourselves in each other’s gravity. With you, I forget the edge between sanity and surrender. With you, I step off the cliff willingly. We land on another planet, and it feels like home—a home stitched from stolen hours, from glances too long, from whispers too soft for anyone else to hear. They would call us reckless. They would call us wrong. But what do names matter when my pulse finds rhythm in your touch? When reason unravels and all that’s left is the echo of your breath against mine? I do not ask to be saved. I do not ask to be understood. I ask only to lose myself in this asyl...

Do You Catch Your Breath When I Look at You?

There are certain glances that don’t belong to the world. They linger, uninvited, in the fragile space between two souls who know they should never cross the line. When our eyes meet, it feels like the air forgets how to exist. My lungs stumble, my pulse betrays me, and for a fleeting second the universe seems smaller—just us, staring too long, pretending we don’t notice. But we do. We notice everything. We count every second and make meaning to the smallest gesture. The curve of a smile that was never meant to be defined other than a virtue. The weight of silence that carries more words than we are allowed to speak. The soft gravity that pulls us closer, even when reason keeps us apart. And isn’t it strange? That sometimes the most powerful connections are the ones bound by impossibility. That knowing we can never step beyond this shared-sentiment makes every stolen glance taste like forbidden poetry. So, we laugh. We talk. We keep it safe. We let the world believe it’s simple. And in...

Suddenly, Everything Makes Sense Again

Image
There are moments in life when I find myself tangled in a web of confusion — like standing in the middle of a messy room, unsure where to begin, or trying to untie a knot that only seems to tighten the more I pull. Emotions blur. Decisions seem heavier. The future feels foggy. And the worst part? I don’t even know why I feel stuck. But then… something shifts. A conversation. A long-overdue cry. A sudden realisation at 2 a.m. A quote in a book. A verse I've read a thousand times but only now it hits differently. And just like that — suddenly everything makes sense again . Clarity doesn’t always arrive in a grand revelation. Sometimes, it whispers. Sometimes, it walks in quietly while I'm busy trying to fix everything else. It's that moment when I look back and go, "Oh… that's why that happened." It’s like God rewinds my life, connects the dots, and hands me the map I didn’t know I needed. The chaos didn’t disappear, but it no longer defines me. The ques...

Sistematika Sigmund Freud

Beneran efek kafein Tuku—tiada lawan sejauh ini—menjadi satu-satunya protokol yang masih membuat denyutku sinkron ketika semua proses tubuh menuntut tidur. Badan dan ragaku sudah sangat, sangat lelah; tapi pikiranku masih belum pulang. Seperti layar yang menolak mode tidur, mataku mencari sesuatu untuk di-refresh: halaman demi halaman kubaca apa saja yang bisa kulahap supaya kelopak ini keburu menyerah. Sudah lembar ketiga—sudah ada footer, header, tag—aku tetap gagal menemukan titik di mana jaringan pikiranku layak untuk disconnect. Kamu bukan AI, tapi aku merawatmu dengan cara seorang teknisi merawat server yang rapuh: rutin memeriksa log, menunggu ping, menahan napas saat ada delay. Aku membungkus rindu dalam sintaks sederhana—emoji yang tak terpakai, pesan setengah jadi yang mampir di draf—seolah kata-kata itu cukup untuk memperbarui firmware hatiku. Kadang aku membayangkan kita seperti dua aplikasi yang bertukar token; kamu memberi izin, aku menyimpan cache kenangan. Kadang rindu ...

Woy Pelayan Publik, Baca nih!

Image
Pak Presiden minta rakyat boleh berpendapat asal sopan. Maaf pak, cara sopan ternyata ngga kedengeran. Gue lihat-lihat para ' pejabat ' pelayan publik kudu banyak lagi belajar soal esensi berhadapan dengan RAKYAT, yes, para boss itu kita sebut RAKYAT yang mereka wakili dan harusnya mereka naungi. Apa yang harus pertama dibenerin? Semoga husnul khotimah Affan, dan semoga syahid jalanmu Prinsip Komunikasi Publik.  1. Transparansi (Keterbukaan) Informasi publik harus disampaikan secara jelas, lengkap, dan mudah diakses oleh masyarakat agar tidak menimbulkan kesalahpahaman. - bikin live streaming semua kegiatan formal dan agenda kenegaraan yang melibatkan hajat orang banyak. 2. Akuntabilitas Komunikasi yang dilakukan pemerintah  penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan, baik dari segi isi, sumber, maupun dampaknya. - jangan asal ngomong dan nyanyi. 3. Konsistensi Pesan yang disampaikan harus selaras antar lembaga/instansi pemerintah, tidak kontradiktif, dan mengikuti...

Ayo Menangis Bersamaku

Image
Kenangan Masa Kecil yang Menikam Kembali Aku teringat satu momen saat SD dulu. Seorang teman bertanya, “Kalau besar nanti mau jadi apa?” Dengan polos aku menjawab, “Aku mau jadi guru.” Spontan ia menjawab, “Ih kok mau jadi guru? Kan guru gajinya kecil.” Waktu itu aku menganggap dia terlalu materialistis. Naif, pikirku, karena menganggap impian jadi guru hanya sebatas angka rupiah. Tapi hari ini, ucapan polos anak 12 tahun itu kembali mengetuk benakku. Kali ini, dengan dimensi yang berbeda. Dengan perih yang nyata. Hari ini aku kehilangan nafsu makan. Aku hanya ingin menangis. Bukan karena persoalan pribadi, tapi karena kabar yang kembali menyeruak: nasib guru honorer di negeri ini masih begitu getir. Sebagai seorang dosen, aku merasa malu. Malu pada diriku sendiri, malu pada bangsa yang seolah menutup mata. Bagaimana mungkin orang-orang yang kita titipi masa depan anak-anak, orang-orang yang menjaga api pengetahuan, justru menerima imbalan yang bahkan tak layak disebut seba...

another night of being a mother

Image
Malam ini, di tengah gelap kamar yang hanya diterangi lampu tidur kecil, aku memutuskan untuk bercerita tentang hubungan ayah dan anak. Ceritanya sederhana, tapi aku sengaja membungkusnya dengan sedikit drama. Ada dialog lirih, jeda yang pas, dan suara yang nyaris bergetar. Hasilnya? Mata mereka mulai berkaca-kaca. Bahkan sebelum cerita selesai, ada yang sudah menyeka pipi. Tapi di sela haru itu, aku selipkan humor kecil — satu kalimat lucu yang membuat mereka tersenyum di antara air mata, tau kan betapa lucunya aku? Itulah seni melatih rasa. Bagi anak-anak, rasa sedih bukan sekadar tentang kehilangan atau air mata. Rasa sedih juga bisa menjadi ruang untuk belajar empati, mengenali kehalusan hati, dan memahami bahwa perasaan datang dalam warna yang berlapis-lapis — bukan hitam putih. Menjadi ibu ternyata juga berarti menjadi sutradara emosi. Aku belajar untuk mengulas ulang perasaanku sendiri, lalu menyalurkannya kepada mereka lewat medium apapun — cerita sebelum tidur, obrolan ringan ...

Rasa Takut yang Begitu Indah

Image
Ada rasa takut yang membuatmu lari. Tapi ada pula rasa takut... yang justru membuatmu kembali. Malam itu hening. Angin menyusup di sela jendela kamar. Lampu redup. Dan di layar ponselku, suara tilawah Al-Qur’an menyusup perlahan ke dalam hatiku. Lalu aku menangis. Bukan karena hidupku sedang berantakan. Bukan karena aku sedang kehilangan siapa-siapa. Tapi karena untuk pertama kalinya, aku sadar: Aku akan mati. Dan setelah itu, semuanya dimulai .  "فَأَمَّا مَنْ أُوتِيَ كِتَابَهُ بِيَمِينِهِ..." “Barangsiapa yang diberikan kitab catatannya dengan tangan kanannya...” (Qur’an 69:19) Ayat itu tidak menyeramkan. Tapi aku menggigil. Kenapa? Karena di antara segala rasa takut yang pernah aku alami dalam hidup ini — gagal ujian, kehilangan kerja, ditinggalkan manusia — semuanya menjadi kecil di hadapan rasa takut akan hisab. Bukan hanya karena takut masuk neraka. Tapi takut... berdiri di hadapan-Nya, dalam keadaan hina. Takut saat amalku ditimbang dan bumi bersaksi atas s...

Menyalakan Obor Nostalgia

Image
Iya, OBOR. Bukan cuma api biasa. Obor itu edisi api gede yang dwifungsi - memperindah atau menghanguskan. Ini catatan weekend ku yang rollercoaster. Siap? --- Awalnya cuma iseng. Gue nyalain lagi grup WhatsApp SMA yang udah lama sepi. Grup ini isinya temen-temen satu angkatan, plus beberapa adik kelas dan senior—termasuk dua orang mantan gue (yes, dua 😅). Bukan, bukan karena pengen balikan. Gak ada unfinished business, gak ada perasaan yang bersisa. Gue cuma... pengen bernostalgia. Pengen ngobrol seru lagi kayak dulu. Kadang kita tuh kangen masa-masa lugu dan polos, ketawa karena hal sepele, atau bahas momen-momen absurd pas SMA. Dan ternyata, berhasil. Grup mulai hidup. Satu dua orang mulai nimbrung. Obrolan ngalir ke arah yang menyenangkan—tentang siapa yang masih sering ketemu siapa, tentang guru yang dulu killer sekarang jadi pejabat negara, sampai soal siapa yang dulu sering kena hukuman atau ikut organisasi. Gue ikut nimbrung juga dong. Ikut mention temen-temen, termasuk satu ...

Kelas Realita, Cinta dan Anak Bahasa

Image
Tadi siang gue baru aja balik ke SMA gue. Bukan cuma sekadar nongkrong atau nostalgia, tapi kali ini gue diundang jadi pembicara di acara OSIS & MPK. Dan jujur, sih, rasanya campur aduk. Gila, gue yang dulu cuma anak polos kelas X yang bingung mau ngapain, sekarang bisa berdiri di depan adik-adik kelas yang lagi penuh semangat dan ambisi. Begitu gue masuk ke area sekolah, gue langsung disambut sama banyak tempat yang penuh cerita. Pemandangan ini bener-bener ngingetin gue betapa banyak yang udah gue lewatin di sini. Dulu gue merasa canggung, bingung, bahkan kadang merasa gak percaya diri. Tapi ternyata, semua itu berawal dari momen-momen yang ada di sekolah ini. 1. Kelas X: Dari Kelas yang Gelap ke Panggung Kehidupan Kelas gue dulu berada di sudut gedung yang agak jauh, jadi jarang kena sinar matahari. Tapi entah kenapa, di ruang itu banyak banget momen yang akhirnya bikin gue mulai belajar lebih banyak tentang diri gue sendiri. Waktu itu, gue masih belum tahu apa yang harus dilaku...

TEMENIN AKU YUK!

Image
 Berikut ini LIMA alasan dasar kenapa ikut kajian itu tetap penting buat kamu—iya, kamu —meskipun: cuma bisa datang sekali-sekali , niatnya masih naik turun , dan ilmu agama kamu masih terasa “culun” dibanding yang lain. ---- Ini catatan pribadiku, kamu sih mungkin beda perspektif ya. Tapi boleh dong kamu baca dulu pendapat dan pengalamanku (sok-sok) ikut kajian :) ---- 1. Karena hidayah itu harus dijemput, bukan ditunggu Kadang kita mikir, “Aku belum pantes, masih banyak dosa.” Tapi justru dengan datang ke tempat yang baik, kamu sedang membuka pintu buat hidayah masuk. Bukan soal seberapa alim kamu sekarang, tapi seberapa mau kamu mendekat. Allah itu Maha Menuntun, asal kamu bergerak walau satu langkah. "Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga." (HR. Muslim) 2. Lingkungan itu ngaruh banget Kita nggak bisa terus-terusan berharap iman kita stabil kalau lingkungannya isinya cuma hiburan, gosip, dan scroll...

Renungan Transjakarta Sore Ini

Image
Di balik kaca jendela bus, aku melihat bukan hanya jalanan, tapi juga bayangan diriku sendiri — perempuan dengan banyak peran dan warna. Ada hari-hari di mana aku merasa seperti tokoh utama yang kuat. Tapi jauh lebih sering, aku merasa seperti pemeran figuran dalam hidupku sendiri — sibuk memenuhi kebutuhan semua orang, sampai lupa bertanya:  “Apa kabarmu hari ini, wahai diriku?” Perempuan sering kali diharapkan jadi segalanya. Ibu yang lembut, istri yang sabar, anak yang berbakti, pekerja yang profesional, guru yang inspiratif, sahabat yang bisa diandalkan. Di antara semua itu, ada tumpukan cucian, tugas anak sekolah, deadline kerjaan, dan tangisan tengah malam. Rasanya seperti nonton pertunjukan sirkus — tapi akulah si pemain akrobat yang berjalan di tali sambil juggling piring, mencoba seimbang tanpa jatuh. Overwhelmed? Tentu. Tapi anehnya, aku juga bersyukur. Karena di balik lelahnya banyak peran, ada cinta yang menguatkan. Ada doa yang tak terdengar. Dan ada kekuat...

Just Because It’s Viral Doesn’t Mean It’s Important

Image
Asli deh, kapan kita mau sadar yang viral itu belum tentu yang penting? Di zaman serba digital ini, apapun bisa viral dalam hitungan menit. Tapi pernahkah kamu bertanya, does going viral mean something really matters? Not always. What is "Viral Content"? Menurut Cambridge Dictionary , viral content is “something that becomes very popular by being passed from person to person, especially through the internet.” Menurut Jonah Berger dalam bukunya Contagious: Why Things Catch On , content can go viral karena beberapa faktor seperti: Emotional triggers (content yang memancing emosi, terutama emosi tinggi seperti marah, senang, takut), Social currency (orang ingin terlihat keren atau up-to-date), Storytelling (konten dibungkus dalam cerita yang menarik), Practical value (ada nilai guna langsung), dan Public visibility (mudah dilihat orang lain dan ditiru). Tapi here's the problem: not all viral content is meaningful . In fact, banyak sekali yang viral karena hanya ...

Why Teaching English Speaking Skills Is So Hard — And Why AI Alone Isn’t Enough

 I've been reactivating myself in a journey called PRIVATE ENGLISH TEACHER FOR SPEAKING SKILL. & just like my other decisions in life, I often turned myself to a corner and questioned "WHY THE HELL DID YOU ACCEPT THIS?!" hahahahahahahha. JK, I needed the money and the adrenaline rush too! Teaching speaking skills in English is one of the most rewarding, yet most emotionally demanding parts of language education. Unlike grammar or reading comprehension, speaking cannot simply be drilled through worksheets or fully automated with AI chatbots. It requires a human connection, a sense of safety, and most of all — encouragement. Over the years, I’ve noticed that many of my students struggle not because they can’t speak English, but because they don’t believe they can . The barrier isn’t just linguistic; it’s deeply psychological. Fear of making mistakes, of being judged, of “sounding stupid” — these are real fears, and no AI tool can fully soothe them. This is where the te...

Refleksi: Hidup Di Dunia Ini Sementara

Image
Kadang hidup tuh rasanya berat banget. Masalah datang terus, belum selesai satu, udah disambut yang lain. Sampai-sampai mikir, “Ini kapan selesainya, ya?” Tapi di tengah kepenatan itu, aku selalu coba ingetin diri sendiri: hidup ini cuma sementara. Kita cuma numpang lewat di dunia. Tempat tinggal yang sebenarnya itu nanti, di akhirat. Jadi kalau semua hal kita ukur dari sudut pandang dunia, ya wajar aja kalau terasa sesak. Tapi kalau kita mulai ngelihat hidup ini sebagai bekal buat akhirat, pelan-pelan beban itu jadi lebih ringan. Allah sendiri udah bilang di Al-Qur’an: “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirah: 6) Dan Rasulullah juga pernah bersabda: “Dunia adalah penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir.” (HR. Muslim) Kalimat itu dalam banget. Karena kadang yang bikin kita capek bukan masalahnya, tapi ekspektasi kita sendiri. Kita pengen semuanya lancar, sesuai rencana, dan cepat selesai. Padahal bisa jadi, justru di proses ya...

Every wound is a piece of art

Image
Pernahkah kamu melihat kaca yang pecah? Kaca bening yang dulunya utuh, indah, dan transparan—dalam satu benturan saja bisa hancur berkeping-keping. Tapi, tahukah kamu bahwa pecahan kaca itu bukan akhir dari segalanya? Justru, dari pecahan-pecahan kecil itulah bisa lahir sesuatu yang baru—bahkan lebih kuat dan lebih berguna dari bentuk aslinya. Dalam dunia industri daur ulang, kaca yang pecah tidak dibuang begitu saja. Kepingan-kepingannya dikumpulkan, dihancurkan lebih halus, lalu diproses ulang menjadi bahan baku yang bisa menciptakan produk baru seperti ubin kaca, bahan konstruksi yang solid, atau bahkan material yang lebih tahan lama. Kaca yang sudah dipecah itu, karena partikelnya lebih padat dan terkontrol, justru menciptakan struktur yang lebih kuat di bentuk barunya. KACA ITU ADALAH KITA Saat hati kita retak karena kehilangan, saat impian kita hancur karena kenyataan, atau saat rasa sakit seakan meluluhlantakkan jiwa—kita merasa seolah segalanya runtuh. Tapi sebenarnya, momen ...

Romantisme Allah Lewat Azan: Panggilan Mesra dari Langit

Image
Pernah nggak sih, kamu lagi sibuk banget—entah itu kerjaan numpuk, anak-anak ribut, hati lagi nggak karuan—tiba-tiba terdengar suara azan? Dan entah kenapa, dadamu terasa seperti ditarik… pelan, lembut, tapi dalam. Itulah azan. Panggilan mesra dari Allah. Seruan cinta dari langit untuk hati yang sering lelah. Azan itu bukan sekadar tanda waktu salat. Lebih dari itu, ia adalah surat cinta lima kali sehari dari Tuhan yang nggak pernah lelah menunggu kita pulang. Di saat semua hal duniawi membuat kita lupa arah, Allah dengan sabar mengirim azan—mengundang kita kembali ke pangkuan-Nya. “ Hayya ‘ala ash-shalah…” Mari, datang ke shalat. Bukankah itu terdengar seperti, “ Ayo, sini… istirahat dulu. Ceritakan semuanya pada-Ku.”? Dan saat kita dengar: “ Hayya ‘ala al-falah…” Kita diingatkan bahwa kemenangan, kebahagiaan sejati, bukan di notifikasi media sosial atau gaji bulanan. Tapi di sujud yang sunyi, di air mata yang jatuh di sajadah. Bahkan setan pun takut saat azan berkumandang...

Loneliness: It's Not Always About Who Texted You Last

Image
The other day, my friend was feeling pretty low. He kept saying, "Nobody cares. Nobody checks on me anymore." It’s tough to see someone you care about hurting like that. But as we talked, I realised something important: He wasn’t actually abandoned — he was just stuck in a mindset that made him feel alone, even when he wasn’t. This made me think of Sadness from Inside Out 2 . If you remember her (how could you not?), Sadness is that little blue teardrop of a character who feels everything deeply . She sees the world through a heavy, emotional lens, which can sometimes make even normal situations feel overwhelmingly lonely. Here’s the truth: Loneliness isn’t just about how many texts or invites you get. It’s a state of mind . You can be surrounded by people and still feel lonely, or be completely alone and feel totally at peace. According to research by Hawkley and Cacioppo (2010), loneliness is actually more about the perception of social isolation than about real, phy...

Why Making Everything Digital Is Important

Image
— And Why You Should Care About How It’s Stored and Shared Yesterday, I caught up with an old friend over coffee — someone I deeply admire for her work in the field of marketing and communication consultancy. She’s currently handling a crisis case involving a public figure whose academic credentials are being questioned. But the twist is: her client isn’t the public figure — it’s the institution that's now under scrutiny. People are asking: “Is it true this person graduated from your university?” - What makes it tough, she told me, is the absence of a reliable digital trail. “Back then,” she said, “the graduation records were still paper-based. There were no standardised digital archives, no traces and solid online proof of verified diplomas, no university portal like the ones we see today.” In short, the institution can’t provide a verifiable digital proof, even though the person may well have graduated legitimately. And now, they’re paying the price in credibility. That conversa...

It's Digital, Baby

In today’s hyper-connected digital world, Gen Z faces an overwhelming flood of information every day. With platforms like TikTok, Instagram, and YouTube constantly delivering bite-sized content, they’re exposed to news, opinions, and trends at a speed never seen before. While this offers access to diverse perspectives, it also creates information overload —making it harder to distinguish between reliable facts and misleading content. For instance, a viral TikTok might spread health misinformation that seems convincing because it's well-edited and shared by a popular influencer, even if it's scientifically inaccurate. Another major hurdle is the culture of instant gratification that dominates digital spaces. Gen Z is used to fast, on-demand content—think 15-second videos, eye-catching headlines, and memes that prioritise entertainment over depth. This often leads to superficial understanding and a reluctance to engage with long-form articles or complex arguments. For example, ...

The Comeback — Stronger, Rooted, and Ready

Image
There’s a certain kind of strength that grows quietly — not in boardrooms or on stages, but in the stillness of midnight feedings, in the chaos of family dinners, and in the heart of a woman who wears many hats. That’s where I’ve been. Not gone, but fully present . For the past season of my life, I stepped away from public projects, paused my creative pursuits, and leaned fully into my roles as a mother, a wife, a full-time lecturer, and a multi-tasker juggling countless side gigs. My hiatus wasn’t about burnout. It was about intentional living. About choosing presence over performance, depth over display. I’ve been busy building a life — not just a résumé. Image generation from AI - my precious family. What the Hiatus Taught Me During this time, I learned that strength doesn’t always look like pushing harder. Sometimes, it’s found in surrendering to what matters most. I learned to find joy in the messiness of motherhood - mbak Siti left and her substitutes aren't just substituti...